Oligarki Dalam Demokrasi Indonesia

Oligarki Dalam Demokrasi Indonesia

Smallest Font
Largest Font

GMN Politik - Oligarki adalah merupakan sistem politik dimana pihak yang memerintah terdiri atas  sejumlah orang atau sekelompok orang (kelompok elit). Sekelompok elit tersebut dalam menjalankan pemerintahan selalu menggunakan segala cara agar rakyat dapat dikendalikan dan dikuasainya. Sistem ini disebut juga pemerintahan dari atas yakni Negara dijadikan alat untuk mencapai tujuan kelompok elit, sehingga tujuan yang menyangkut kesejahteraan rakyat, keadilan, dan kemerdekaan perorangan biasanya tidak dapat (sulit).

Apa itu Oligarki? Oligarki adalah kekuasaan yang dikendalikan oleh sedikit orang, tetapi memiliki pengaruh dominan dalam pemerintahan. Oligarki merupakan tipe klasik suatu bentuk kekuasaan. Kata oligarki berasal dari bahasa Yunani, yaitu oligoi berarti “beberapa” atau “segelintir” dan arche berarti “memerintah”. Oligarki adalah bentuk pemerintahan yang dipimpin oleh beberapa orang, namun untuk kepentingan beberapa orang tersebut (bentuk negatif).

Robison dan Hadiz (2004) melakukan studi yang menggaris-bawahi bahwa elit predatorial (elit pemangsa rakyat) lama yang berbasis partai-partai politik menguasai panggung politik. Mereka melakukan reorganisasi kekuasaan mengikuti logika politik kartel, yaitu Politik kartel digambarkan sebagai situasi manakala partai-partai politik secara bersama-sama mengabaikan komitmen ideologis dan programnya agar tetap bisa bertahan di lingkar kekuasaan dengan memilih bergabung dengan pemerintahan baru pasca pemilu. Sebagai imbalan atas dukungan yang diberikan mereka berbagi pos-pos jabatan di pemerintahan. Politik kartel pada gilirannya membentuk pemerintahan berwatak oligarkis.

Oligarki merupakan mekanisme pemusatan kekuasaan pada segelintir elit berkuasa yang menekankan pada kekuatan sumber daya material (kekayaan) sebagai basis  mempertahanan kekuasaan sekaligus kekayaan pada diri elit. Sementara plutokrasi mirip dengan oligarki. Namun, plutokrasi terjadi tatkala tercipta suatu kondisi ekstrem ketimpangan sumber daya antara “kaya”dan “miskin” di dalam suatu negara. Plutokrat (penguasa dalam plutokrasi) tidak hanya menguasai sumber ekonomi dan politik, melainkan juga sumber daya kekerasan (pasukan ,senjata, teknologi). dan ini menjadi basis bagi munculnya oligarki.

Ada studi lain yang dilakukan Hee-Yeon Cho (2008) melihat bahwa“demokrasi oligarkis” Indonesia berangsur-angsur berubah menjadi “oligarki demokratis.”Inilah sejenis oligarki yang ingin mempertahankan kekayaan–sekaligus merebut kekuasaan–melalui kompetisi electoral (melalui pemilu) yang berwatak elitis. Sehingga, bukan politik demokrasi yang berlangsung di Indonesia, tapi politik oligarki.

Sementara itu Winters (2014) juga menegaskan kenyataan serupa, bahwa elemen penting neo Orde Baru adalah kaum oligark (elit berwatak oligarkis) yang tak ikut lenyap bersama tumbangnya Suharto. Kaum oligark yang dulu berada di bawah kendali mutlak Suharto kini sedang berebut posisi di puncak kekuasaan. Oligark sultanistik di zaman Orde Baru terpusat di Cendana, sedangkan oligark pasca Orde Baru menyebar ke dalam banyak kutub persaingan kaum elit. Metode otoritarian Orde Baru membuat oligarki bisa dikuasai seorang diktator, sedangkan “demokratisasi” pasca Orde Baru membuat para oligark bersaing melalui mekanisme kompetisi electoral. Sehingga Winters ingin menegaskan bahwa oligarki dan demokrasi saling menunggangi.

Effrey A. Winters dalam bukunya bertajuk Oligarchy menempatkan oligarki dalam dua dimensi. Dimensi pertama, oligarki dibangun atas dasar kekuatan modal kapital yang tidak terbatas, sehingga mampu menguasai dan mendominasi simpul-simpul kekuasaan. Dimensi kedua, oligarki beroperasi dalam kerangka kekuasaan yang menggurita secara sistemik.

Dalam sistem demokrasi tidak langsung seperti yang diterapkan di Indonesia, dalam skema penyelenggaraan pemilu didahului dengan pemilu legislatif, partai politik merupakan elemen penting. Partai politik memiliki peran strategis sekaligus vital, yakni menjadi pihak yang diberikan kepercayaan politik oleh rakyat melalui mekanisme keterwakilan di parlemen/DPR. Dengan melihat pada alur yang linier, partai politik tepat berada di tengah antara warganegara sebagai konstituen dengan negara sebagai pelaksana tertinggi pemerintahan. Dengan menggunakan mekanisme keterwakilan menuntut adanya individu-individu yang duduk di kursi parlemen/DPR.

Partai politik, menjadi satu-satunya institusi yang berwenang melakukan rekrutmen menjaring wakil-wakil tersebut. Tugas ini pula yang kemudian mensyaratkan partai politik melakukan kaderisasi politik; menjaring individu-individu terbaik yang representatif untuk duduk di kursi parlemen/DPR. Jika melihat realitas yang  menggejala dalam tubuh partai-partai politik di Indonesia, tampak betul bahwa oligarki seperti dalam tafsiran Winters merupakan penyakit yang sudah akut.

Hampir semua partai di Indonesia sebenarnya dikuasai oleh segelintir elite yang memiliki -dalam istilah Pierre Bourdie- modal kapital dan sosial yang kuat.

Gurita oligarki dalam partai politik menguatkan asumsi bahwa partai politik gagal dalam melakukan fungsinya sebagai agregator demokratisasi. Fungsi rekrutmen dan kaderisasi yang macet dan partai politik lebih suka menggelar karpet merah kepada pemburu kekuasaan bermodal uang miliaran rupiah. Pendidikan politik yang disajikan di masyarakat diringkas ke dalam materi-materi kampanye-kampanye yang gegap gempita, gaduh oleh berita bohong, menjatuhkan lawan dengan fitnah atau hoax dan sama sekali tidak mencerahkan.

Bahkan pada titik yang paling parah, partai politik menjadikan masyarakat sebagai konstituennya dianggap sebagai obyek politik semata lima tahunan yaitu mendekati rakyat ketika membutuhkan suara rakyat dalam pemilu.

Sebagai subyek demokrasi, seharusnya masyarakat dituntut mendapatkan pendidikan politik dan memiliki pengetahuan politik. Tanpa pengetahuan politik, demokrasi hanya akan berjalan secara prosedural dan lupa pada esensinya. Namun dalam kenyataannya, praktik ideal partai politik tersebut lebih sering tidak terlaksana.

Secara internal, partai politik bahkan kerap kali gagal mempraktikkan mekanisme demokrasi dan terjebak dalam budaya oligarki. Dalam konteks politik nasional, hal itu tampak jelas dalam mekanisme penjaringan calon anggota legislatif maupun kepala daerah oleh sejumlah partai. Tampak jelas bahwa seleksi calon legislatif dan kepala daerah justru dilakukan dengan cara-cara yang jauh dari nilai-nilai demokrasi. Sistem penjaringan cenderung tertutup, tidak transparan, dan tidak memungkinkan dipantau oleh publik. Belum lagi soal fenomena mahar politik yang selalu mengiringi proses penjaringan calon pemimpin daerah.

Di tangan para elite itulah segala keputusan partai politik ditentukan melalui mekanisme hirarki yang kaku, alias dari atas ke bawah. Seorang ketua partai beserta orang-orang di lingkaran terdekatnya merupakan sosok-sosok superior yang memegang kewenangan penuh dalam ihwal decision making, termasuk menentukan siapa yang bakal diusung dalam pileg dan pilkada.

Menjadi tidak mengherankan manakala dalam konteks usung-mengusung calon kepala daerah partai politik cenderung mengistimewakan figur-figur yang dinilai memiliki modal kapital.

Acap kali figur itu bukan kader partai dan terbilang tidak memiliki basis pendukung yang berafiliasi dengan parpol tertentu. Keputusan partai untuk mengusung calon kepala daerah dari jalur non-kader ini tidak jarang menimbulkan polemik di kalangan internal partai. Kader partai yang telah berjuang dari bawah dan potensial tentu merasa ditelikung karier politiknya.

Partai politik begitu kuat perannya dalam Negara, sehingga layak dikatagorikan sebagai monopolistik.

Setelah lebih dari dua dekade, ternyata penguatan peran secara cepat (mendadak) yang tanpa dilandasi pendewasaan secara memadai itu, mengkondisikan partai menjadi rentan oleh jebakan hakekat kekuasaan berupa kecenderungan untuk membesar dan memusat. Maka tidaklah mengherankan, apabila dewasa ini semakin dikenali penguatan watak sistem kekuasaan oligarki dan bahkan aristokrasi di dalam partai politik Sistem kekuasaan oligarki partai politik tampil melalui kecenderungan sentralisasi kekuasaan, dominasi elit partai, pragmatism berlebihan (opportunitic) dan kroniisme kepemimpinan pengurus, yang secara keseluruhan dibungkus dengan pemandulan pelembagaan (institusionalisasi) partai. Dalam pada ini, gejala aristokratisasi partai terlihat dari kronilisasime elit atau penguasa partai yang mulai tergeser oleh nepotisme dan dinasti.

Sejalan dengan pergeseran sistem kekuasaan itu, maka kebebasan rakyat yang terfokus kepada mobilisasi, sementara mereka dieksploitasi oleh pemimpin partai yang berkuasa secara oligarki, mulai terancam kehilangan kebebasan dan kemungkinan dieksploitasi secara intensif oleh pengurus partai yang menghidupkan sistem kekuasaan aristokrat.

Sementara sistem aristokrat bangkit dalam partai, akan tetapi kontroversi sengitnya dengan sistem kekuasaan demokratik, memberi keleluasaan kepada pendukung kekuasaan oligarki untuk berkiprah terus. Kondisi itu dapat dipahami karena kekuatan sosial dan ekonomi kaum aristokrat belum sempat dikembangkan.

Pada saat parlemen/DPR yang sedang dikuasai Partai Politik secara monopolistic dengan menafikan peran ormas dan perseorangan melalui peraturan perundangan yang dibuatnya, dipertanyakan kinerja dan fungsinya, karena tidak berhasil menyelesaikan masalah masyarakat dan bangsa serta Negara, apalagi  Memajukan kehidupannya, maka amatlah beralasan untuk memahami peran sistem kekuasaan oligarki yang dipergunakan partai dalam menyelenggarakan tugas-tugas parlemen/DPR dalam rangka mencari solusinya.

Upaya Pemahaman dimaksudkan menjadi mendesak, tatkala kepercayaan publik kepada parlemen/DPR begitu buruknya sebagaimana ditemukan oleh para peneliti, dan pada saat institusi perwakilan rakyat itu terperosok ke dalam penyalahgunaan kekuasaan sebagaimana diindikasikan oleh korupsi sejumlah anggotanya. Dengan begitu, siapapun akan bertanya tentang peran sistem kekuasaan oligarki yang dipraktekan para politisi partai, tatkala mereka menyelenggarakan kekuasaan DPR. Jawaban atas pertanyaan itu, diungkap melalui kinerja sejumlah aspek utama kehidupan DPR, yaitu perwakilan politik, tatanan kekuasaan lembaga itu, kinerja DPR, dan produk utamanya, di bawah pengaruh unsur oligarki sistem kekuasaan partai yang relevan.

Konservatisme Partai Dan Perwakilan Politik DPR yaitu Prinsip demokrasi universal mengajarkan bahwa anggota DPR sebagai wakil rakyat, bertindak atas nama dan untuk rakyat. Dalam melakukan tugas dan fungsinya, Dalam lima tahun pertama sejak persiapan Pemilu 1999 sampai amandemen UUD 1945 dirampungkan, kaum reformator berupaya menguatkan DPR dan mengoperasikan perwakilan politik rakyat secara tepat. DPR dibuka secara fisik dan fungsional untuk mewakili rakyat.

Jelaslah bahwa perjalanan reformasi untuk demokrasi semakin diwarnai oleh oligarki partai politik, yang karena dominasinya atas DPR berakibat kepada penggeseran kinerja dan produk DPR untuk melayani rakyat, berubah menjadi melayani kepentingan partai sebagaimana diwakili oleh kepentingan elitnya.

Dengan demikian, pandangan politik tradisional yang menyebut politik adalah pertengkaran gagasan atau kekuatan pikiran, sepertinya telah tergantikan dengan pertengkaran kekuatan materil.

Pada akhirnya, mungkin dapat dipahami, kuatnya pengaruh politik oligarki di Indonesia adalah konsekuensi dari terjadinya politik berbiaya tinggi, yang mana para politisi yang ingin berlaga di Pemilu membutuhkan sokongan dana besar dari para oligark. Kemudian, kemampuan para oligark yang dapat mempengaruhi jalannya sistem politik ini berakar dari kapabilitas uang yang dapat menjadi alat tukar nilai-nilai personal.(Red)

Penulis : Intan Rachmina Koho, S.IP., M.Si

Editors Team
Daisy Floren
Daisy Floren
Redaksi Author